KONTROVERSI tentang sah dan pencatatan perkawinan telah menjadi
sangat memprihatinkan, karena makin menjadi melebar, sehingga kepastian
hukum menjadi taruhannya. Perbedaan pendapat yang terjadi, baik pada
birokrat maupun pada penegak hukum menjadi semakin rancu, kasihannya yang
menjadi korban adalah masyarakat umum.
Pertanyaan yang timbul adalah: kapankah perkawinan itu diakui
sebagai perkawinan yang sah? Apakah pada waktu pelangsungan perkawinan yang
dilangsungkan menurut tatacara masing-masing hukum agamanya dan
kepercayaannya itu? Ataukah pada waktu Pencatatan Perkawinan dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Perkawinan?
Undang-undang secara eksplisit melalui Pasal 2 Ayat (1)
menentukan: "perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". Ketentuan yang sudah jelas
ini bahkan diperjelas oleh ketentuan di dalam Penjelasan Pasal Demi Pasal
yang bunyinya: "dengan perumusan pada Pasal 2 Ayat (1) ini, tidak ada
perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kecercayaannya itu,
sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945; yang dimaksud dengan hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan
perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya
itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam
Undang-undang ini".
Kemudian Ayat (2) Pasal 2 UU No. 1/74, menentukan: "tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku", namun di dalam
penjelasan Pasal Demi Pasal tidak dijelaskan lebih lanjut tentang
perdaftaran ini. Selanjutnya setahun kemudian yaitu pada tahun 1975,
diundangkan peraturan pelaksanaan dari UU No. 1/74 itu, yang dikenal dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (PP No. 9/75).
Pasal 2 PP No. 9/75, menentukan tentang lembaga Pencatatan
Perkawinan yang berbeda bagi yang beragama Islam dan non-Islam.
Bagi yang beragama Islam pencatatan perkawinannya dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 32
tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, yaitu Kantor Urusan
Agama. Sedangkan bagi mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut
agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai
Percatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam
berbagai perundang-undangan mengenai percatatan perkawinan.
Penjelasan Pasal Demi Pasal dari Pasal 2 PP No. 9/75 ini,
menentukan: "dengan adanya ketentuan tersebut dalam Pasal ini, maka "
pencatatan" perkawinan dilakukan hanya oleh dua instansi, yakni Pegawai
Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk dan Kantor Catatan Sipil atau
Instansi/Pejabat yang membantunya".
Jadi kedua lembaga itu, berfungsi "hanya mencatatkan" perkawinan
yang telah dilangsungkan secara sah.
Harus diakui ketentuan yang mengatur tentang sah dan pencatatan
perkawinan kurang jelas, sehingga dalam praktik seringkali menimbulkan
berbagai interpretasi, yang menyebabkan kepastian hukum menjadi taruhannya.
Terdapat beberapa masalah tentang penentuan sahnya perkawinan
yang membawa implikasi pada pencatatannya, dalam tulisan ini hanya akan
dibahas tentang kapan waktu sahnya perkawinan itu diakui. Apakah waktu
perkawinan itu dilangsungkan secara sah menurut masing-masing hukum agamanya
dan kepercayaannya itu? Ataukah pada waktu pencatatan? Masalah ini tentunya
tidak ada, apabila waktu pelangsungan perkawinan dan waktu pencatatan
perkawinan dilakukan pada hari yang sama. Menjadi masalah apabila terdapat
perbedaan waktu antara pelangsungan perkawinan yang dilakukan dengan
tatacara masing-masing hukum agamanya dan kepercataannya itu, dengan waktu
pencatatan perkawinan.
**
MEREKA yang melangsungkan perkawinan menurut tatacara Agama
Islam, hampir semuanya dilakukan oleh Kadi yang juga Pegawai dari Kantor
Urusan Agama (KUA), yang kemudian akan mencatatkan perkawinan yang
dilangsungkannya di Buku Daftar Pencatatan Perkawinan dan selanjutnya
dikeluarkanlah "buku nikah" dan tercantum hari, tanggal dan tahun waktu
perkawinan dilangsungkan, dalam arti tidak ada perbedaan antara waktu
pelangsungan perkawinan dan waktu pencatatan.
Namun, bagi mereka yang bukan pemeluk Agama Islam, tentunya
dapat saja terjadi perbedaan waktu antara pelangsungan perkawinan dan
pecatatan perkawinan, karena dilakukan oleh dua lembaga yang berbeda, meski
pun banyak yang dilakukan berbarengan, tetapi tidak kurang banyaknya yang
dilakukan pada waktu yang berbeda. Justru karena dilakukan di dua lembaga
yang berbeda, cenderung terdapat perbedaan waktu antara pelangsungan
perkawinan di lembaga agama dan kepercayaan dengan lembaga pencatatan
perkawinan.
Apabila perbedaan waktu antara pelangsungan dan pencatatan hanya
beberapa hari saja, tentunya pun tidak menimbulkan perbedaan yang besar,
namun apabila perbedaannya sangat besar, bahkan ada yang bertahun-tahun,
maka akan menimbulkan masalah.
Terhadap anak-anak yang lahir dari pasangan yang telah
melangsungkan perkawinan secara sah menurut masing-masing hukum agamanya dan
kepercayaannya itu tetapi belum dicatatkan, tidak menjadi masalah, sebab
begitu bapak dan ibu dari anak-anak itu mencatatkan perkawinan, maka
anak-anak yang dilahirkan menjadi anak yang disahkan dan mempunyai kedudukan
yang sama dengan anak sah.
Akan timbul masalah apabila di dalam perkawinan yang telah
dilangsungkan secara sah itu tetapi belum dicatatkan, telah terbentuk harta
bersama, ketentuan dari Pasal 35 UU No. 1/74 menentukan: harta yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
Kalau perkawinan itu diakui sah pada waktu pencatatan, maka
perkawinan yang belum dicatat itu dianggap tidak sah secara hukum, ini lucu
jadinya. Sebab jelas UU No. 1/74 melalui Pasal 2 Ayat (1), menentukan sahnya
perkawinan pada waktu dilakukan menurut masing-masing hukum agamanya dan
kepercayaannya itu.
Ketentuan ini membawa implikasi bahwa sahnya perkawinan pada
waktu dilangsungkan menurut tatacara masing-masing hukum agama dan
kepercayaannya itu. Memang Ayat (2) Pasal 2 UU No. 1/74 menentukan:
tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pertanyaannya apa fungsi dari pencatatan perkawinan? Kalau
ditelusuri Penjelasan Umum dari UU No. 1/74, poin 4 (b) Ayat (2),
ditentukan: "Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan
pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya
kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat-surat keterangan, suatu akte
resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan".
Menafsirkan ketentuan di atas, maka perkawinan adalah suatu
peristiwa penting dalam kehidupan seseorang seperti kelahiran dan kematian,
dalam arti waktu perkawinan yang sah itulah waktu yang penting untuk
dicatatkan, bukan waktu kapan dicatatkan itu menjadi penting untuk diakui
sebagai waktu dilangsungkannya perkawinan, sebab waktu pencatatan adalah
hanya bersifat adminstratif.
Penafsiran di atas adalah analog dengan pencatatan kelahiran dan
kematian, bukan waktu pencatatan kelahiran dan kematian yang dipakai sebagai
waktu terjadinya kelahiran dan kematian, tetapi waktu kapan dilahirkan dan
kapan waktu kematian berlangsung, yang dipakai sebagai "waktu lahir" dan "
waktu mati".
Jadi berdasarkan dengan persamaan dengan kelahiran dan kematian,
demikian pula dengan perkawinan, kapan waktu sahnya perkawinan dilangsungkan
menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itulah yang harus
diakui sebagai "waktu kawin", bukan kapan waktu prerkawinan yang sah itu
dicatatkan.
**
BAGAIMANA Pencatatan Perkawinan yang dicatatkan di Kantor
Catatan Sipil? Merujuk pada Kutipan Akta Perkawinan yang dikeluarkan oleh
Badan Kependudukan dan Kantor Catatan Sipil (d/h Kantor Catatan Sipil) Kota
Bandung tertulis:
"Dari daftar perkawinan LN. di Bandung ternyata bahwa di Bandung
pada tanggal 22 September 1999 telah "dilangsungkan" perkawinan antara X dan
Y, Pemberkatan Perkawinan dari Gereja Z Bandung tanggal 30 Mei 1999."
Apa arti dari isi cuplikan di atas? Perkawinan "dilangsungkan"
di Kantor Pencatat Perkawinan pada tanggal 22 September 1999. Jelas Akta
Perkawinan ini, merujuk pada peraturan lama di dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (KUHP), yang dengan diberlakukannya UU No. 1/74 tentang
Perkawinan, telah dinyatakan tidak berlaku lagi, yakni kewenangan Kantor
Catatan Sipil cq Pegawai Kantor Catatan Sipil untuk "melangsungkan"
perkawinan.
Letak kerancuannya ada pada Badan Kependudukan dan Kantor
Catatan Sipil, yang menurut UU No. 1/74 tidak mempunyai wewenang untuk "
melangsungkan" perkawinan, tetapi "hanya mencatatkan" perkawinan yang telah
dilakukan secara sah menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya
itu. Seharusnya di dalam Akta Perkawinan, dituliskan:
"Dari daftar perkawinan LN. di Bandung ternyata bahwa di Bandung
pada tanggal 30 Mei 1999 telah "dilangsungkan" perkawinan antara X dan Y,
Pemberkatan Perkawinan dari Gereja Z Bandung tanggal 30 Mei 1999."
Dalam arti, hanya terdapat 1 buah tanggal, bulan dan tahun (30
Mei 1999), bukan 2 buah tanggal, bulan dan tahun (30 Mei 1999 dan 22
September 1999), yaitu tanggal, bulan dan tahun pemberkatan (30 Mei 19999).
Hari, tanggal dan tahun pencatatan bukanlah hari, tanggal dan tahun sahnya
perkawinan.
Sebaiknya Departemen Dalam Negeri cq Badan Kependudukan dan
Kantor Catatan Sipil mau belajar dari kerancuan ini dan kembali kepada
fungsinya semula yaitu "hanya mencatatkan" perkawinan, dan tidak merujuk
kepada peraturan dalam KUHP yang telah dihapus, yaitu mempunyai kewenangan
untuk melangsungkan perkawinan.
Sekali lagi ditekankan di sini, Badan Kependudukan dan Kantor
Catatan Sipil menurut Uu No. 1/74 tidak mempunyai kewenangan untuk "
melangsungkan" perkawinan, yang mempunyai kewenangan untuk melangsungkan
perkawinan adalah lembaga agamanya dan kepercayaannya itu, kewenangan Badan
Kependudukan dan Kantor Catatan Sipil "hanya mencatatkan" perkawinan yang
telah dilakukan secara masing-masing hukumagamanya dan kepercayaannya itu..
Perubahan harus dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri
selekasnya, sebab mempunyai arti yang sangat penting, selain akan sangat
membantu terbentuknya kepastian hukum dan pada gilirannya akan mengurangi
terjadinya perselisihan di dalam masyarakat, sehingga supremasi hukum yang
dicita-citakan menjadi kenyataan, juga bukan hanya masyarakat yang dibuat
bingung, birokrat dan penegak hukum pun dibuat menjadi bingung.
Pertanyaannya apakah birokrat mau mengakui kesalahkaprahan yang
dibuatnya? Masih menjadi tandatanya, selalu ada hambatan berupa arogansi
kekuasaan untuk mau mengakui kesalahan dan kembali kepada penafsiran yuridis
yang benar. Mengubah yang salah menjadi benar, secara sangat sederhana,
tidak berbelit-belit, masih menjadi barang langka di Republik tercinta ini.
Sederhana, sebab tidak ada formulir yang diubah, yang perlu
dilakukan pengetikan tanggal, bulan dan tahun konsisten hanya 1 buah tanggal
yaitu tanggal pelangsungan perkawinan, tidak dua buah tanggal. Sederhana,
sebab cuma cukup berbentuk Instruksi saja dari Menteri Dalam Negeri kepada
Badan Kependudukan dan Kantor Catatan Sipil di seluruh Indonesia! Bukankah
di Indonesia ini berlaku adagium: kalau dapat dipersulit mengapa harus
dipermudah?***
0 komentar:
Posting Komentar